Sabtu, 10 Mei 2014

“Predator Anak”, Salah Siapa? Oleh: Mizan Musthofa (Aktifis HMI)

Mizan Musthofa
“Predator Anak”,  Salah Siapa?
Oleh: Mizan Musthofa (Aktifis HMI)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menghasilkan sebuah data yang menyebutkan bahwa 95 persen anak berusia sekolah dasar, sudah menjadi pelaku kekerasan seksual. Perilaku ini ada disebabkan terlalu dininya usia anak-anak itu untuk melihat konten pornografi. Konten ini didapat justru dari anak itu sendiri dengan cara mengunduhnya dari rumahnya sendiri karena tidak disengaja. Sementara sebagian lainnya, mengunduh konton pornografi dari warnet, telepon genggam, dan dari teman.
Contohnya saja yang terjadi pada bulan November 2013 di Situbondo. Dalam kasus itu disebutkan bahwa seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (kelas 6) memerkosa tetanggannya yang masih berusia balita. Ketika diperiksa, sang anak mengatakan bahwa ia terinspirasi dari film porno yang ditontonnya.

Hal seperti ini tentunya sangat memprihatinkan, mengingat usia anak-anak itu yang sebenarnya belum layak untuk mengetahui semua hal-hal yang Tabu.
Peran orangtua terhadap tumbuh kembang anak menjadi benteng pertahanan anak untuk terhindar dari tindak kejahatan atau kriminalitas baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. "Orangtua hendaknya memberikan perhatian kepada setiap anak dengan penuh agar segala perubahan perilaku yang dialami anak dapat terdeteksi,"
Perilaku seksual yang melampiaskan hasrat seksual pada anak-anak adalah tindakan yang harus dinyatakan sebagai "kekejaman" tingkat berat karena mengakibatkan kerusakan permanen pada pribadi dan pola pikir anak ketika dewasa.
Perilaku seksual pedophilia adalah penyakit kejiwaan yang sangat merusak karena kemungkinan pelakunya melakukan atas dasar berbagai alasan, bisa dorongan seksual tak terkendali namun tak dapat menyalurkan hasrat seksualnya, dorongan karena terangsang saat melihat kejadian yang sama, atau karena pelaku pernah menjadi korban.
Media massa juga berperan dalam menyebarluaskan informasi untuk membangun budaya sehat, menciptakan masyarakat yang perpengetahuan luas, berfikir sehat dan berperilaku sehat demi kemajuan bangsa lebih baik di masa datang. Bukan malah memberikan informasi yang tidak mendidik. Dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) juga harus ketat dalam menyensor Iklan/film.
Media massa harus juga turut membangun pengetahuan dan persepsi masyarakat. Berita seperti infotainment televisi juga harus memiliki sikap positif dan menentang adanya pornografi dan porno aksi dalam kehidupan generasi muda Indonesia. Gaya hidup permisif dan serba toleran atas nama kebebasan individu tentulah bukan bagian dari budaya Indonesia yang bermartabat. Sebaliknya budaya Indonesia adalah serba menahan diri, merasa malu, memprioritaskan kesucian pernikahan dan keharmonisan keluarga serta kekerabatan di atas segalanya
Peran dunia Pendidikan juga ikut andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945, saat ini pendidikan Indonesia menggunakan kurikuluum berbasis karakter. Disini harus ada Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan berkarakter (character education)  dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial
Penulis Adalah Mizan Musthofa, Aktifis HMI Cab Pekanbaru



EmoticonEmoticon