Rabu, 18 Januari 2012

ra’yu fiqh

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang
Ushul fiqh merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari ilmu pengetahuan islam , Ushul fiqhi mempelajari sejalan dengan mempelajari fiqh dan diajarkan sejalan dengan pelajaran fiqh.

B.     Rmusan masalah
v  Pengertian ra’yudalam
v  Perana dan cara penggunaan ra’yu fiqh
v  Batas  penggunaan ra’yu
v  Kekuatan hukum hasil temuan nalar
v  Penggunaan ra’yu sebagai dalil hukum fiqh

C.     Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari masalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah “Ushul fiqh”  serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Ra’yu
     Kata ra’yu adalah secara etimologi adalah “melihat”. Kata ra’yu atau yang seakar dengan itu terdapat dalam 328 ayat  yang tersebar dalam al-quran . Tentang apa yang dimaksud dengan kata ra’yu itu dalam al-quran, tergantung apa yang menjadi objek dari perbuatan “melihat” itu. Objek yang dikenai oleh kata ra’yu dalam al-quran secara garis besar apat di bagi menjadi  dua macam, Yaitu: objek yang kongkrit (berupa) atau objek yang absrtak (tidak tampak.
     Terhadap objek yang kongkrit kata ra’yu itu berate melihat dengan mata kepala atau memperhatikan. Umpamanya firman  Allah dalam surat al-an’am ayat (78):



Artinya:kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata:”inilah tuhan ku, ini yang lebih besar.”
     Kata ra’yu dalam ayat ini berarti melihat. Terdapat objek yang abstrak kata ra’yu tidak mungkin diartikan melihat dengan mata kepala, tetapi harus di artikan “melihat dengan mata hati “ atau dengan arti “memikirkan”.
     Kata lain yag digunakan Allah SWT dalam al-quran yang artinya, berpikir adalah “nazhara” . Terjemah ini dalam bahasa indonisia menjadi “nalar”. Walaupun kata ini secara lughawi berarti memperlihatkan atau  melihat, namun bila digunakan objek yang abstrak, artinya menjadi pemikiran.
     Kalau di analisa semua ayat al-quran yang berarti berpikir baik yang berakar pada ,(ra’a), (fakara), (a’qola), atau (nazara) terlihat keseluruhannya mendorong umat untuk menggu akan pikiran, baik dengan menggunakan ungkapan”berpikirlah” ata  tidak mau kamu pikirkan.




B.     Peranan dan cara Penggunaan Ra’yu dalam fiqh
     Allah menciptakan manusia sebagi khalifah di atas bumu ini, dalam hal kedudukan sebagai khalifah ia harus patuh kepada Allah dan tidak boleh berpaling dari-nya. Sebagai khlifah, dalam hubungannya dengan Allah yang maha pencipta, ma usi harus selalu bebakti padanya.
     Bentuk dan tatacara berbakti kepada Allah dan berbuat baik kepada sesame manusia itu harus berdasarkan dan mengikuti wahyu yag diturunkan Allah tidak boleh mengikuti selain itu.
     Atas dasar prinsip di atas, maka seluruh tingkah laku manusia dalam usahanya dalam mencapai hidup yang lebih baik di dunia dan ahirat harus mengikuti dan berdasarkan kepada wahyu  Allah, Dalam hal ini allah SWT berfirman dalam surat al-an’am.(38)



Yang artinya” tidaklah kami alpakan sesuatupun dalam al-kitap” 
     Ayat itu menjelaskan bahwa tidak ada satu pun yang luput dalam kitab  Allah, Dalam ayat lain di tegaskan bahwa al-quran itu telah sempurna dan tidak perlu di tambah lagi (al-maidah)ayat 4.
     Dalam penjelasan diatas tentang al-quran di uraikan bahwa di antara ayat hukum dalam al-quran itu ada ayat yang mengungkapkan ketentuan hukum secara jelas dan terinci sehingga tidak mungkin adanya pemahaman lain.  Ayat semacam ini jumlahnya sangat terbatas. Persentasenya sangat kecil di bandingkan dengan persoalan ukum dalam kehidupan manusia yang memerlukan pengaturab hukum.
     Dari segi hukum allah dapat di temukan dalam tiga kemungkinan sebagai berikut:
1)      Hukum Allah dapat di temukan dalam lafaz al-quran menurut yang di sebutkan secara harfiah. Bentuk disebut “ hukum yang tersurat dalam al-kum quran.
2)      Hukum Allah tidak dapat di temukan secara harfiah dalam lafaz al-quran maupu sunnah, tetapi dapat di temukan melalui isyarat atau petunjukan dri lafaz yang di sebut dalam al-quran. Hukumdalam bentuk ini di sebut hukum yang tersirat di balik lafaz al-quran.
3)      Hukum Allah tidak dapat di temukan dari harfiah lafaz dan tidak pula dari isyarat suatu lafaz yang terdapat dalam al-quran dan sunnah, tetapi dapat di temukan dalam jiwa dari keseluruhan maksud Allah dalam menetapkan hukum. Hukum Allah dalam bentuk  ini di sebut: “ hukum yang tersuruk (tersebunyi) di balik al-quran”.
     Untuk  mengetahui hukum  Allah dalam bentuk pertama kita dapat mengandalakan dari apa yang tersebut yang tersurat dalam al-quran,  dan penjenlasannya dari Nabi  (atau dari dalil nash). Peranan ra’yu dalam hal ini hampir tidak berarti. Tetapi untuk memahami hukum dalam bentuk kedua dan apalagi dalam bentuk kedua dan apalagi dalam bentuk ketiga, sangat diperlukan peranan ra’yu atau ijtihad.
     Pertama, perentangan suatu lafaz  kepada maksud lain dapat di lakukan den  an pemahaman lafaz semata. Dalam ushul fiqh cara seperti ini di sebut menggunakan kaidah mafhum, baik mafhum muafaqah maupun mafhum mukhalafah.Umpanya keharaman memukul orang tua di pahami dari keharaman mengucapkan kata-kata kasar kepada mereka terdapat dalam al-quran surat, al- isyra ayat (23) dan hukum haramnya merusak harta anak yatim yang ketentuan hukumny tidak tersebut al-quran  di pahami dari larangan memakan harta anak yatim secara  zalim yang ketentuan hukumnya dapat dalam al-quran surat annisa’ ayat 10.  
     Kedua, perentangan suatu lafaz kepada maksud lain tidak dengan pemahaman lafazsemata, tetapi tegantung  pada pemahaman alasan hukum atau  I’llat. Cara perentangan lafaz dalam bentuk ini di sebut menggunaka kiadah qiash. Dikalangan ulamak,  ushul fiqh, qiash di artikan: menghubungkan peristiwa yang tidaka ada nashnya, atau teks hukumnya kepada kejadian lain yang ada nashnya karena illat, kedua kejadian itu sama.
     Dengan demikian, bila pada suatu kejadian terdapat kemaslakhatan yanh bersifat umum dan tidak ada dalil nash yang berbenturan dengannya, mka pada kejadian itu seorang mujtahid dapat melahirkan ketentuan hukum, Usaha penemuan hukum melalui cara ini dikenal dengan nama maslahah mursalah.
C.     Batas penggunan ra’yu
           Pada prinsipnya penalaran di pergunakan dalam menetapkan hukum terjadap suatu kejadian bila tidak terdapat aturan-aturannya secara herfiah. Dengan demikian ra’yu itu dapat dipergunakan dalam dua hal, yaitu”
1.      Dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya sama sekali. Dalam hal ini mujtahi menemukan hukum secara murni dan tidak ada benturan dengan ketentuan nash, yang sudah ada kerena memang belumada nashnya.
2.      Dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti. Nash hukum dalam bentuk ini memberikan kemungkinan-kemungkinan pemahaman. Kalai begitu, apa lagi yang akan di tetapkan oleh ra’yu terhadap yang sudah di atur secara harfiah itu, peranan ra’yu dalam hal ini adalah menemukan alternative. Pendapat yang  muncul dalam bentuk ini tidak akan berbenturan denagan dalil kerena memang dalil karena memang dalil tidak memberikan petunjuk yang pasti. Dalam hukum yang secara pasti di sebutkan dalam al-quran maka hukum menurut yang disebutkan berlaku untuk seterusnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan.
Ø  Terhadap yang hukumnya di sebutkan secara pasti dalam nash, tidak ada peranan ra’yu
Ø  Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terhadap dalam nash, nalar dapat menjalankan fungsi formalasi,
Ø  Terhadap kejadian yang hukumnya di sebutkan dalam nash secara penunjukan yang pasti, ra’yu dapat menjalankan fungsi reformasi.
D.     Kekuatan Hukum Hasil temuan Nalar
     Nalar berperan dalam penggalian dan penetapan hukum , baik terhadap hukum yang tersirat, apalagi dalam hukum yang tersuruk. Dalam hukum yag tersuruk yang di perkirakan hukumnya yang tersirat yang diperkirakan bahwa hukumnya hany ada pada apa yang tersirat itu mujtahid juga dapat menetapkan hukum. Karena hukum islam itu adalah hukum  Allah, maka apapn yang dicapai oleh mujtahid dengan nalarnya itu adalah hkum  Allah juga.




E.     Penggunaan ra’yu seagai Dalil hukum fiqh
     Dari uraian diatas dapat di pahami bahwa pemahaman hukum fiqh dari hukum
 Dari sumber di luar al-quran dan sunnah (kedua disebut nash) di sebut pemahaman hukum berdasarkan ra’yu atau rasio. Benuk penggunaan ra’yu itu dapat di klafisikasikan sebagai berikut:
1)      Dilihat dari segi oaring menggunakanna.
Penggunaan ra’yudalam bentuk ini ada dua cara:
a)      Penggunaan r’yu secara kolektif. Artinya, hukum yag di tetepkan didasarkan pada hasil penalaran yang sama atau kesempatan pendapat dalam menetapkan hukum. Cara ini disebut ijtihad jana’i.
b)      Penggunaan ra’yu secara peroangan, artinya, apa yang dapat di capai oleh seorang mujtahid tentang hukum suatu masalah  belum tentu sama dengan apa yang dapat apa yang di capai mujtahid lain mengenai masalah yang sama. Cara penggunaan ra’yu dalam bentuk ini di sebut ijtihad fardi.
Dari dua cara penggunaan ra’yu tersebut di atas, yang terkuat dari segi kebenarannya atau terhindarnya dari kesalahan adalah ijtihad jama’I. Dalam istilah hukum , cara penggunaan ra’yu dalam bentuk ini disebut ijma”.
2)      Dilihat dari segi ada atau tidaknya dasar rujukan ra’yu itu kepada nash al-quran atau sunnah.
                 Didalam hal ini terdapat dua bentuk, yaitu, ra’yu yang merujuk kepada nash al-quran atau sunnah dan ra’yu yang tidak merujuk secara jelas kepada nash al-quran atau sunnah. Yang terkuat diantara dua cara penggunaan ra’yu ini dari segi pencapaian kebenaran atau tarhindar dari kesalahan adalah ra’y yang merujuk kepada al-quran atau sunnah.
                 Ijmak’ dan qias disepakati oleh para ulamah sebagai dalil yang kuat  penamuan hukum fiqh dan  dalam hal al-quran tdak menjelaskan umumnya secara pasti, mekipun para ulamak berbeda dalam kadar penggunaannya.



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa , ra’yu di gunakan dalam dua hal yakni:
1.      Dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya sama sekali. Dalam hal ini mujtahi menemukan hukum secara murni dan tidak ada benturan dengan ketentuan nash, yang sudah ada kerena memang belumada nashnya.
2.      Dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannya terhadap hukum tidak secara pasti. Nash hukum dalam bentuk ini memberikan kemungkinan-kemungkinan pemahaman. Kalai begitu, apa lagi yang akan di tetapkan oleh ra’yu terhadap yang sudah di atur secara harfiah itu, peranan ra’yu dalam hal ini adalah menemukan alternative. Pendapat yang  muncul dalam bentuk ini tidak akan berbenturan denagan dalil kerena memang dalil karena memang dalil tidak memberikan petunjuk yang pasti. Dalam hukum yang secara pasti di sebutkan dalam al-quran maka hukum menurut yang disebutkan berlaku untuk seterusnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan.
B.     Saran
     Kami menyadari bahwa dalam makalah kami ini masih terdapat banyak kesalahan. Olah karna itu, kepada para pembaca, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat konsumtif demi kesempurnaan makalah ini dan semoga makalh ini bermanfaat bagi kita semua untuk menambah wawasan.

3 comments

Asw. Saya sangat awam dalam bahasa Arab. Cuma setahu saya dalam memahami arti suatu kata dalam kalimat, perlu dilihat konteksnya. Makna kata 'cantik' misalnya. bisa macam2, tergantung bagaimana kontek kemunculan kata tersebut dalam komunikasi, baik tulis maupun lisan.Terkait dengan itu, arti kata ro'yu dalam setiap hadis dan ayat apa tidak berarti perlu dilihat konteks kemunculan kata tersebut? Mohon maaf dan Tks

Uraiannya sangat jelas. Kunjungi pula http://diahhalim.blogspot.co.id/2018/05/rayu-nalar-sebagai-dalil-hukum-fiqh.html


EmoticonEmoticon