Sabtu, 19 November 2016

“Pemuda dalam Wacana Islam Progresif”

Kang Mizan
Oleh: Mizan Musthofa
“Pemuda, bukan hanya sekedar manusia biasa. Dipundaknya agama, bangsa dan negara deperaruhkan. Bukan hanya generasi pengganti orang tua, namun tiang agama dan bangsa tegak dihatinya. Berani merobohkan tembok penguasa demi membela keadilan untuk masyarakatnya”.
(Kang Mizan)

Oktober merupakan bulanya pemuda indonesia, tepat Tanggal 28 Oktober hari Sumpah Pemuda indonesia. Dibulan ini menjadi momentum bagi kita “Pemuda” untuk mengekplorasi gagasan dan pemikiran dalam pembangunan manusia modern.

Sebagai review gerakan sumpah pemuda indonesia yang ikut memperjuangkan bangsa indonesia dari tangan penjajah selama tiga abad lebih. Arah gerakan pemuda hari ini sudah semestinya harus di mulai dalam bentuk gagasan dan pemikiran.
Jangan sampai pemuda malah terjebak pada faham pragmatisme dan hedonisme yang akan merusak pemikiran-pemikiran kita. Dalam Al-Qur’an pemuda di istilahkan dengan “Fatan” dalam surat al-anbiya’ 60.
Salah satu karakteristik pemuda adalah pemberani (Baca: Mizan Musthofa “dari sumpah pemuda menuju pribadi muslim yang ideal”, desember 2014). Disamping itu, tentu sebagai pemuda memiliki peranan yang sangat besar dalam membawa perubahan-perubahan bangsa. Memberikan pemikiran dan gagasan untuk bangsa, baik itu tentang keislaman, pendidikan, sosial pilitik, dan ekonomi akan menjadi suatu keharusan bagi pemuda.
Maka butuh sebuah konsep metodologi untuk memahami hakikat pemuda islam. Sebagai pemuda sudah barang tentu harus memahami ajaran islam. Untuk memahami ajaran islam itu sendiri diperlukan metodologi, jangan sampai pemuda memahami ajaran islam secara persial, hal ini akan menimbulkan sebuah penilaian yang berat sebelah.
Ahirnya terjebak pemahaman islam yang tidak kaffah. Padahal kita diminta untuk memasuki islam secara sempurna (kaffah). (Baca: Didin Saefuddin Buchori, dalam metodologi studi islam 2005). Jika agama islam ingin survive ditengah-tengah perjalanan sejarah, maka pemuda harus mengkaji secara terbuka, ilmiah, dialogis, dan konstektual.
Pemuda dalam hal ini sangat berperan dalam melakukan gerakan atau wacana-wacana besar tentang islam. Pada abad kedua puluh banyak muncul pemikir-pemikir baru islam, yang dapat direpresentasikan dengan kehadiran tokoh-tokoh seperti Jamaludin al-afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Ahmad Khan, Rasyid Ridha, Abul A’la Al-Maududi, dan tokoh-tokoh islam lainnya.
Misalnya Muhammed Arkoun membawa Horizon baru pemikiran islam. Salah satu yang ditawarkan olehnya adalah bahwa mengkaji Islam menggunakan pendekatan-pendekatan sosial. Beliau melihat bahwa keislaman zaman dahulu harus dirombak disesuaikan dengan kondisi saat ini, salah satu yang terbaik menurut Arkoun adalah melalui pendekatan ilmu sosial (Ibid : Didin Saefuddin Buchori, dalam metodologi studi islam 2005).
Dengan terjadinya Tragedi perang dunia kedua (second word war) menyisakan banyak dampak bagi masyarakat terutama pemuda, baik dampak positif maupun dampak negatif. Media menjadi salah satu penentu pertarungan dunia saat ini. Tidak berlebihan jika hari ini media sangat menjadi penentu siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah dalam pertarungan dunia internasional.
Ide, gagasan, politik, ekonomi, sosial, kekuatan militer dan lain sebagainya sudah tergambar dalam media. Semua bisa diakses kapanpun dan dimanapun, baik yang sifatnya pembelajaran maupun bermain black issue, propaganda untuk mengalahkan lawan-lawannya.
Miris dan sangat disayangkan Kondisi saat ini, para pemuda terhipnotis dengan sebar foto selfy (Foto kekinian) dipasang tiap-tiap sepanduk dan ditempel di dinding simpang jalan, agar terlihat hebat dan pintar.
Namun kosong akan diskursus kajian akan keilmuan dan keislaman. sebagaian asyik meributkan mana yang lebih bergensi antara instragram atau paht sebagai wahana eksis di sesial media, atau berjibaku semalam suntuk untuk menghafal konstitusi sebagai bahan untuk terlihat pintar di forum-forum diskusi. Dan apakah kita termasuk kedalam salah satunya?
Jika kita termasuk kedalamnya, maka sejatinya kita tak mampu membendung arus globalisasi dalam diri kita. Yang pada ahirnya kita miskin akan wacana-wacana besar sebagai pemuda, sehingga untuk merumuskan atau membangun perubahan bangsa kearah yang lebih baik tidak akan pernah tercapai sampai kapanpun.
Dan Cita-cita sebuah perubahan atau peradaban hanya mimpi kosong belaka.
Pertanyaan mendasar bagi kita adalah, mengapa selalu pemuda yang menjadi central gerakan untuk sebuah perubahan? Sederhananya adalah, karena pemuda adalah orang-orang terpilih sebagai agent perubahan. Sebuah kemajuan bangsa dan negara tentu akan sangat bergantung pada aktor perubahan itu sendiri yakni pemuda yang ada didalamnya.

Dalam sejarah peradaban dunia, pemuda adalah aset yang tak ternilai harganya. Kejayaan dan kemajuan atau sebaliknya kehancuran bangsanya tergantung pemuda sebagai tokoh utama dalam peranannya melakukan perubahan. Tidak berlebihan sekiranya para pemuda disebut sebagai agent of change (agen perubahan) agent of control sosial (agen kontrol sosial).
Sebagai agent of change pemuda diharapkan tidak hanya bergelut dengan instagram dan gadget barunya, melainkan mengimplementasikan dari hasil bacaan buku setiap harinya kedalam bentuk prilaku sehari-hari.
Kita tidak dapat hindari fenomena-fenomena saat ini, seperti ucapan seorang gubernur yang memicu kemarahan dan membuat geger umat islam seantoro negeri ini. Tidak ikut komentar mungkin kita bisa, namun apakah kita bisa hindari kejadian-kejadian tersebut. Tentu tidak bisa, karena kejadian tersebut terjadi tepat didepan mata kita.
Hal ini, kita sebagai pemuda tentu harus mengambil sikap dalam setiap kejadian. Menghadirkan islam progresif dalam wilayah struktural negara maupun sosial menjadi alternatif baru dalam pembaharuan zaman. Sebagai aktor intelektual, pemuda jangan sampai larut dengan persoalan-persoalan kecil yang menjadikan kita kerdil dalam pemikiran keislaman.
Seharusnya dengan kejadian-kejadian seperti ini, kita mampu mengambil ikhtibar dan kemudian merumuskan sebuah konsep ideologi gerakan islam untuk ditawarkan kepada masyarakat, terutama masyarakat indonesia.
Dalam buku Antonio Gramci “Negara dan Hegemoni” Gramci dalam pandangannya terhadap negara dan hegemoni tidak terlepas dari kondisi politik, kebudayaan, pendidika dan ekonomi. Negara dan hegemoni grmaci berakar pada konsep fundamental marxisme tehadap negara, walaupun demikian gramci memiliki interpretasi yang berbeda pada tataran strategi dan teknik revolusioner bagi pencipta revolusi sosialis di negaranya (Baca: Antonio Gramci, Negara dan Hegemoni).
Maka dalam membangun sebuah perubahan bagi negara akan selalu dibenturkan dengan kekuatan-kekuatan besar kapitalisme dengan masyarakat sipil. Namun penganut kapitalis akan selalu menggunakan ataratur negara dalam menghadapi masyarakat sipil dengan kekerasan.
Gerakan pembaharuan Islam progresif, sebagai tendensi pemikiran dan pergerakan, memang bukan hal yang baru dikalangan pemuda islam atau masyarakat islam indonesia. Islam progresif pernah dirumuskan dan dikembangkan oleh seseorang yang bernama HOS Cokro Aminoto seorang bangsawan yang memilih menjadi rakyat biasa, yang sering disebut sebagai “Raja tanpa Mahkota”.
Dalam diskursus keislaman keindonesian sudah semestinya kita mengkaji lebih jauh apa itu islam progresif. Sebuah gagasan yang menawarkan konstektulisasi islam yang terbuka, segar, serta responsif. Walaupun pada ahirnya gerakan Cokro tidak bisa maksimal karena pemerintah kolonial pada masa itu membatasi setiap gerak Cokro.
Islam Progresif akan Mersepon segala bentuk problematika yang ada dengan sikap yang kritis dan berorientasi pada kemajuan islam itu sendiri serta Menolak penindasan terhadap keummatan. Berbeda pula konteknya ketika dihadapkan dengan faham liberalisme dengan jaringannya yang biasa disebut dengan JIL (jaringan islam liberal).
Pemahamannya dalam konteks ini sangat membahayakan bagi kalangan pemuda islam indonesia. Terutama masyarakat awam dalam memahami hakikat sebuah kebebasan dalam beragama, jika salah pengertian maka akan melahirkan generasi yang liberal (bebas).
Perdebatan yang sangat panjang sampai hari ini, pemahaman tentang islam liberalisme yang masih menjadi kontradiktif dikalangan para pengkaji islam keindonesiaan.

Dalam study yang dilakukan oleh Martin Van Bruenessen dan kawan-kawannya dalam Concervative Turn “islam indonesia dalam ancaman fundamentalisme” 2004. Masih mempertahankan istilah progresifisme untuk mengambarkan dinamika keterbukaan pada kelas menengah muslim terdidik indonesia terhadap ide-ide pembaharuan Islam.
Martin mencoba meletakkan islam indonesia atas diametral dan tren konservatif pada sebagian muslim yang disebut dengan istilah muslim liberal/radikal. Dengan konsepsi ini martin memasukkan berbagai faksi pemikiran islam neoliberalismenya Cak Nur, tradisionalismenya Gusdur hingga emansipatorisnya mereka yang konsen pada Hak Asasi Manusia (HAM).
Jika dilihat sebenarnya, pandangan martin terperosok dalam kesesatan yang banyak dihirup oleh para pengkaji islam yang mengukur progresifitas islam dengan dua barometer yakni demokrasi dan sekularisasi. Sehingga munculah anggapan bahwa islam yang maju itu adalah islam yang moderat berwajah ramah yang termasuk dalam kapitalisme dan penindasan.
Padahal dalam konsep Cak Nur melihat islam memberikan konsep kebebasan dalam beragama dengan maksud kebebasan dalam menjalankan agama disertai dengan tanggung jawab atas apa yang ia pilih (Baca: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalis, Concervative Turn, Antonia Gramci).
Warisan pemikiran islam yang tersebar dalam bentuk buku, jumlahnya tak terkira. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran pemikira islam dalam seluruh demensi kehidupan memerlukan sebuah progresifitas pemuda-pemuda yang berada Untuk membangun sebuah perubahan islam yang dinamis didalamnya (Prof. Dr. H. A. Hidayat dalam perkembangan pemikiran islam filosofis).
Banyaknya para filosof-filosof islam yang mengenalkan konsep islam berbagai latar belakang dengan hadirnya dinamika sosial pada masanya. Hasan Hanfi menyebut folosof-filosof diatas seperti Martin dengan sebutan islam kiri. Karena progresivitas tidak diukur dengan kata wacana “demokrasi dan sekularisasi” yang dipahami sebagai terbukanya ruang berbagai pihak untuk menyuarakan kepentingan kelompoknya dan terbukanya ruang toleransi yang memungkinkan oleh pemisah antara agama dan negara.
Perlu disadari oleh kita bersama, dalam membangun gerakan dan pemikirann islam progresif kita harus faham makna dan hakikat islam progresif tersebut. Islam progresif memiliki makna bergerak kearah yang lebih baik dan berkemajuan. Itu artinya pemuda harus membangun kerangka ideologi gerakan islam yang progrsif.
Islam yang memiliki nilai yang cukup tinggi dalam dimensi kehidupan sosial. Tidak memahami sesuatu dengan taklid buta, monoton dan kaku. Menghadirkan wajah islam yang ramah, dan tetap kritis atas dasar Al-qur’an dan sunnah Nabi.
Dengan demikian maka suatu keharusan sebagai pemuda islam untuk terlibat dalam membangun peradaban islam yang progresif. Dengan momentum kepemudaan ini sebuah wacana besar untuk melibatkan pemuda menjadi garda terdepan dalam pembanguan yang berpondasi pada ajaran agama islam.
Gagasan-gagasan perubahan tentang islam progresif menjadi alternatif gerakan para pemuda dalam mewujudkan tatanan dunia baru islam. Karena sadar atau tidak musuh kita bukan kelompok-klompok islam, namun yang nyata adalah zionis amerika dan sekutunya yang tidak akan pernah rela melihat islam berkembang dan maju.
Dan kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT, manusia dan tentunya sebagai pemuda hanya mampu mendekatinya menurut kemampuan-kemampuan nalar kita. Ikhtiar dengan sungguh-sungguh menangkap makna dari isyarat yang diturunkan oleh Allah SWT dengan bahasa Islam. Karena setiap ijtihad yang kita lakukan untuk menerjemahkan dalam bahasa sosial adalah kerja mulia, dan secara teologis berpahala sekalipun itu keliru.
Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW “barang siapa yang berijtihad dan ijtihadnya itu benar maka ia mendapat dua pahala, sedangkan bila ijtihadnya itu keliru atau salah, maka ia mendapat satu pahala”.
Wallahu A’lam Bishsowab,..


EmoticonEmoticon