Senin, 12 Maret 2012

Bahasa dan logika


Bahasa dan logika

Sejarah Logika

Masa Yunani Kuno

Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta.Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:

Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)

Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia

Air jugalah uaAir jugalah es

Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.

Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini.Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme.

Buku Aristoteles to Oraganon (alat) berjumlah enam, yaitu:

Categoriae menguraikan pengertian-pengertian

De interpretatione tentang keputusan-keputusan

Analytica Posteriora tentang pembuktian.

Analytica Priora tentang Silogisme.

Topica tentang argumentasi dan metode berdebat.

 Deni Logika atau dalam terminologi Indonesia disebut “filsafat berpikir” secara umum merupakan suatu studi tentang manusia, karena yang berpikir itu adalah manusia dan berpikir merupakan tindakan manusia. Tindakan ini mempunyai tujuan yaitu untuk tahu. Tahu ini bukanlah suatu alat atau daya pada manusia yang dipunyainya sejak lahir seperti mata, telinga atau alat indera lainnya, melainkan tahu itu merupakan suatu tindakan yang mempunyai hasil yang disebut sebagai pengetahuan. Adapun alat atau dayanya disebut pikir, budi atau akal.berpikir tidak dilakukan manusia sejak lahirnya, walaupun kemampuan itu ada, tetapi pada umumnya mengikuti perkembangan fisik manusia secara biologis. Jadi kemampuan berpikir pada manusia merupakan kemampuan potensial. Berpikir pada prakteknya tidaklah terlalu mudah; dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa mungkin orang salah dalam berpikir, bukan karena pengetahuannya yang salah, melainkan karena jalan pikirannya yang tidak lurus atau tidak menurut aturan. Misalkan dikatakan terhadap seseorang yang berbelanja agak berlebih-lebihan serta tidak menawar-nawar; ‘ah itu orang Jakarta’, hal yang demikian itu disebut tidak logis, sebab walaupun mungkin benar bahwa orang yang berbelanja demikian itu orang Jakarta, tapi tidak semua orang Jakarta selalu bertindak demikian kalau berbelanja.
Sebaliknya jika dikatakan orang: A sama dengan B, dan B sama dengan C, maka A sama dengan C. Itu segera nampak kelurusan dari jalan pikiran tersebut, logislah itu, kata orang. Jadi rupa-rupanya adalah aturan berpikir yang tak boleh dilanggar. Suatu tugas ilmiah mencari aturan berpikir ini supaya dikatahui, kalau ada pelanggaran aturan atau penyelewengan dari jalan berpikir yang lurus, maka dicobalah oleh para ahli pikir untuk memenuhi tugas itu, hasilnya memang bermanfaat sekali bagi manusia yang hendak berpikir. Pengetahuan itu merupakan bagian dari filsafat dan disebut orang dengan istilah “logika”. Tugas logika ialah memberikan penjelasan bagaimana orang seharusnya berpikir. Ada juga yang mengatakan bahwa logika itu mengutarakan teknik berpikir, yaitu cara yang sebenarnya untuk berpikir.

- Obyek  Logika
Oleh karena yang berpikir itu manusia, maka lapangan penyelidikan logika ialah manusia itu sendiri. Tetapi manusia itu disoroti dari sudut tertentu, yaitu budinya atau pikirnya. Budi atau pikir ini masih juga disoroti dari beberapa sudut. Misalnya ditanyakan, dapatkah budi itu mencapai kebenaran, dalam arti persesuaian pengetahuan dengan obyeknya, dan kalau sekiranya dapat, sampai dimanakah kemampuam budi itu mencapai kebenaran? dapatkah sampai seratus persen, ataukah hanya sebagian saja? Ada pula pertanyaan, bagaimanakah manusia dengan budinya mencapai pengetahuan?, dan seperti telah dikatakan di atas, dapat pula dipersoalkan, bagaimanakah aturan berpikir itu? Semuanya pertanyaaan yang bersangkutan erat dengan budi manusia, sehingga dapatlah semuanya disebut logika, dan karena ada bermacam-macam sudut pandang, maka ada bermacam-macam logika pula, serta ada yang memberikan nama bermacam-macam juga. Bermacam-macam logika itu berlainan satu sama lain,dan disebabkan oleh karena obyek fomalnya yang berlainan.
Adapun yang dimaksud dengan istilah logika di sini ialah fisafat budi (manusia) yang mempelajari teknik berpikir untuk mengetahui bagaimanamanusia berpikir dengan semestinya (dengan seharusnya). Jadi obyek formal logika ialah mencari jawab: Bagaimana manusia dapat berpikir dengan semestinya?.

 


-  Manusia dan            Pengetahuan

Manusia berpikir itu untuk tahu. Kalau ia berpikir tidak semestinya mungkin ia tidak akan mencapai pengetahuan yang benar. Tak seorang pun mencita-citakan kekeliruan; ia ingin mencapai kebenaran dalam proses tahu-nya itu. Adapun manusia kalau tahu tentang sesuatu, ia akan mengakui sesuatu terhadap sesuatu itu. Misalnya, kalau orang tahu tentang sebuah rumah, mungkin ia tahu juga bahwa rumah itu besar atau kecil. Maka besar atau kecil ini diakui hubungannya dengan rumah itu. Apa pengetahuan itu juga tidak merupakan pengingkaran? Misalnya dalam pengetahuan bahwa: “rumah itu tidak besar” memang menurut bentuknya, ini pengingkaran, negatif. Tetapi pengetahuan yang sebenarnya adalah positif atau pengakuan. Dalam bentuk ingkar tersebut di atas, orang tahu bahwa ada rumah besar menurut ukuran positif yang ada padanya. Itu dasarnya dulu, setelah itu diketahui, maka ternyata bahwa rumah itu tidak mempunyai sifat itu; tetapi tentu ada yang positif pada rumah itu, misalnya indah, mahal, bersih, dan lain sebagainya. Pengetahuan adalah positif. Lebih jelasnya hal ini dalam contoh pengetahuan yang dipunyai orang bahwa: “daun itu tidak merah”. Orang itu tahu benar, bahwa daun itu hijau atau kuning. Jika ia sekiranya tidak mempunyai pengetahuan yang positif, tak mungkin ia tahu, bahwa daun itu tidak merah. Memang harus diakui, bahwa menurut bentuknya mungkin pengetahuan ada yang positif dan ada yang negatif. Tetapi sekali lagi: dasar pengetahuan adalah positif, sebab jika ada sesuatu yang dihubungkan dengan sesuatu kedua, maka ‘sesuatu’ itu haruslah positif.


-   Logika dan  Bahasa
Di atas dikatakan bahwa tahu ialah mengakui hubungan sesuatu dengan sesuatu. Pengakuan ini bisa nampak, kalau dikatakan, dicetuskan dengan kata atau rentetan kata. Betul pengetahuan itu tidak selalu dan tidak perlu dicetuskan dengan kata atau dengan alat pergaulan lain (gerak, tulisan, dan lain-lain), tetapi jika hendak dinampakan kepada orang lain, maka haruslah dicetuskan dengan alat pergaulan, dan diantara alat itu yang amat baik adalah bahasa. Adapun bahasa yang utama adalah yang dikatakan, diutarakan dengan kata, bahasa lisan. Bahasa dengan kata-katanya dipergunakan manusia untuk mengutarakan isi hatinya. Tiap kata memang mengandung maksud, tetapi dalam bahasa lisan maksud itu tidak hanya ditunjukan dengan kata saja, melainkan juga diiringi dengan gerak, ekspresi, dan situasi lainnya.
Namun, sebagai alat pergaulan kita harus membedakan bermacam-macam bahasa. Ada bahasa lisan yang diucapkan dengan lisan, dan alat pengucap lainnya, dan ada bahasa tulisan, serta ada bahasa gerak. Dalam ilmu, terutama dalam logika, bahasa itu harus bisa mencerminkan maksud setepat-tepatnya. Lain halnya dengan bahasa yang dipergunakan dalam kesusasteraan. Di situ yang diutamakan adalah keindahan bahasa. Memang maksud juga penting, tetapi di samping maksud ada faktor indah. Jadi bahasa menurut caranya mengutarakan ada bahasa lisan, tertulis, dan gerak. Menurut tujuannya ada bahasa kesusasteraan dan bahasa ilmiah. Dalam bahasa ilmiah, pengemasan bahasa yang disampaikan haruslah logis, karena ilmiah artinya berbicara tentang pengetahuan, dan tahu ini mengikuti aturannya sendiri, yaitu logika.
Bahasa kesusasteraan tidak selalu dan juga tidak mungkin selalu logis, karena logika bukanlah satu-satunya faktor penting dalam dunia kesusteraan. Seringkali seakan-akan bahasa kesusasteraan memperkosa logika seperti dalam ungkapan: putri malam, keluar masuk, kepala surat atau guru kepala, minum teh, dan lain sebagainya. Walaupun memang tidak logis, tetapi kita tahu maksudnya.
Bagaimanapun coraknya, bahasa selalu merupakan bentuk berpikir, karena dari bahasa kita dapat tahu maksud orang berbahasa itu. Sebagai bentuk berpikir, bahasa disebut penjelmaan berpikir. Sebagai penjelmaan berpikir bahasa menampakan manusia. Itu sebabnya maka ada bermacam-macam bahasa yang berlainan susunan dan bentuk kalimatnya, juga dalam pembentukan kata-katanya.
Oleh karena manusia yang berpikir itu merupakan kesatuan dan keseluruhan, maka bahasanya pun merupakan kesatuan dan keseluruhan. Bahasa merupakan sesuatu yang hidup dan dinamis. Seringkali perkembangan bahasa tidak selaras dengan perkembangan masyarakat yang mempunyainya, sehingga kerapkali ada kepincangan antara manusia dengan bahasanya, sebab bahasanya tidak mau “di-per-alat” begitu saja. Dalam ilmu dan pengetahuan modern yang dahulu tidak dipunyai oleh masyarakat tertentu, maka manusia mudah berkenalan dengan maksud atau pengertian baru, tetapi itu tak dapat dikatakan dalam bahasanya sendiri. Hal yang demikian ini kita alami dalam bahasa kita maka kita cari dan kita bentuk kata majemuk baru, kita terima pembentukan dari kata asal yang sudah kita miliki tetapi bentuk yang lajim belum ada; adapula kita pinjam saja dari kata asing, entah dari bahasa asing kuno, maupun yang modern; bagaimanapun, kita harus punya kata, sebab kita harus dapat mengatakan isi hati kita. Itulah pikir berpengaruh kepada bahasa, tetapi pembentukan kata baru dan kalimat baru sebagai pencerminan pikiran baru ini, harus juga selalu dalam kerangka bahasanya. Perkosaan terhadap susunan bahasa sendiri, akan mengakibatkan bahasa takkan dipahami oleh masyarakat yang berbahasa itu. Itulah pengaruh bahasa terhadap pikir.
Bukanlah tugas logika untuk menyelidiki bahasa, walaupun bagaimana eratnya hubungan logika dengan bahasa. Dalam tulisan ini dikemukakan sedikit soal bahasa, karena bahasa adalah pencerminan dan alat berpikir manusia. Tugas logika ialah meneropong tentang hal berpikir manusia dan mencoba memberi penjelasan bagaimana manusia dapat berpikir dengan semestinya untuk dapat

Bahasa dan kebenaran

Pendahuluan

Jika kita sekarang mempelajari berbagai hal berkaitan tentang ilmu pengetahuan, maka kita tentu harus ingat pula keberadaan filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan itu. Hal itu dapat diyakini kebenarannya karena filsafat melahirkan berbagai ilmu pengetahuan yang ada sampai dengan sekarang ini. Sebagai induk dari ilmu maka filsafat berusaha untuk menjawab serta memahami atau mengerti tentang makna kehidupan dan nilai-nilainya.Pemaknaan nilai-nilai yang ada di dunia ini menggunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan kebenaran dan nilai-nilai. Gie (1997) menjelaskan linguistik dan dimensi linguistik dari ilmu dapat dinyatakan dengan tinjauan linguistik atau kebahasaan, kemudian orang dapat memandang ilmu sebagai bahasa buatan.Sebagai bukti kebenaran tentang eksistensi bahasa (linguistik) yang dinyatakan dalam kajian filsafat dikemukakan Suriasumantri (2000) bahwa “Batas bahasaku adalah batas duniaku.” Hal ini dapat dimaknai bahwa tanpa kemampuan berbahasa, manusia tidak akan mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka hilanglah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai dari generasi satu ke generasi berikutnya. Dinyatakan pula bahwa “tanpa bahasa” simpul Aldous Huxiey maka manusia tidak jauh berbeda dengan anjing atau monyet.”Sehubungan dengan hakikat teori kebenaran dalam bahasa, penulis berupaya untuk mengimlementasikannya dalam pembelajaran. Adapun beberapa hakikat teori kebenaran dalam bahasa itu penulis tuangkan dalam beberapa bagian yaitu hakikat kebenaran, teori kebenaran koherensi dalam bahasa Indonesia, teori kebenaran korespondensi dalam bahasa Indonesia, dan teori kebenaran pragmatis dalam bahasa Indonesia.

Hakikat Kebenaran

Setiap orang menginginkan suatu kebenaran. Kebenaran menjadi sebuah kebutuhan pokok untuk meyakinkan seseorang ketika diambang sebuahkebingungan dari sebuah konsep yang masih meragukan. Lalu apa sebenarnya sebuah kebenaran itu? Secara jelas Depdikbud (1995) menyatakan bahwa kebenaran merupakan keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya atau sesuatu yang sungguh-sungguh. Dari penjelasan itu dapat dikatakan bahwa kebenaran adalah soal kesesuaian sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Benar atau salahnya sesuatu adalah masalah sesuai atau tidaknya tantang apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Pandangan lain tentang kebenaran dinyatakan oleh Mudyahardjo (2002:49) bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara sujek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realita sebagaimana adanya. Misalnya, setiap orang mengatakan bahwa “matahari merupakan sumber energi” adalah suatu pernyataan yang benar, karena pernyataan itu dapat didukung oleh kesesuaian terhadap kenyataan.

Teori Kebenaran Koherensi dalam Bahasa Indonesia

Bila uraian kebenaran telah banyak diungkapkan pada bagian sebelumnya, maka koherensi atau tepatnya teori koherensi dalam bahasa menjadi pembahasan yang patut kita pahami. Sebuah koherensi yang diungkapkan dalam sebuah bahasa Indonesia tentu berpijak dari sebuah pernyataan atau ungkapan bahwa suatu yang dinyatakan akan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren bahkan konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Hal ini dengan tegas dinyatakan oleh Suriasumantri (2000:59) bahwa teori koherensi adalah terori yang berlandaskan pada logika deduktif yang menyatakan bahwa suatu pernyataan yang dinyatakan benar jika bersifat koheren dan konsisten. Contoh terdapat pernyataan bahwa “setiap manusia akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar. Pernyataan yang sering diungkapkan kesimpulan silogisme berikut ini dapat menjadi contoh yang lain, yaitu:

Premis Mayor : Setiap manusia akan mati

Premis Minor : Marjono seorang manusia.

Entimennya : Marjono akan mati karena dia seorang manusia.

Sebagai bagian dari ilmu semantik, medan makna dalam sebuah bahasa Indonesia juga dapat menjadi implementasi dari teori kebenaran koherensi. Secara rinci dapat dinyatakan bahwa kata dapat memiliki acuan yang sama serta memiliki simpulan yang sama. Medan makna dapat digunakan untuk mengetahui identitas suatu kata berdasarkan fitur-fitur yang membentuknya secara menyeluruh, sehingga seseorang yang mencari sebuah istilah dapat menemukan gambaran makna secara semantik dengan sempurna. Contoh: kata mati, mampus, wafat, gugur, tewas, berpulang kerahmatullah memiliki kesimpulan makna yang sama yaitu sudah hilang nyawanya atau tidak hidup lagi.

Teori Kebenaran Korespondensi dalam Bahasa Indonesia

Seiring dengan pernyataan dalam hakikat sebuah kebenaran, teori kebenaran kerespondensi ini lebih menekankan pada pernyataan yang sifatnya koheren dan konsisten. Betrend Rusell (1872-1970) menyatakan bahwa teori kebenaran korespondensi adalah suatu pernyataan yang dianggap benar jika materi pengetahuan yang terkandung di dalamnya menyatakan adanya korespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan yang dimaksud. Jika ada pernyataan bahwa ibu kota negara Indonesia adalah Jakarta, maka pernyataan itu benar adanya karena sesuai dengan objek bahwa Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia.Mencermati penjelasan itu dapat dikatakan bahwa sebuah kebenaran korespondensi merupakan kebenaran yang sungguh-sungguh merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya karena adanya kesesuaian dengan kenyataan yang diketahuinya.Sebagai wujud yang nyata dalam implementasi teori kebenaran korenpondensi dalam bahasa Indonesia dapat dicontohkan bahwa setiap kata memiliki dua demensi yaitu bentuk kata itu sendiri serta makna dari kata yang dibentuk. Sebagai contoh kata garam yang memiliki struktur dari rangkaian fonem [g], [a], [r], [a], [m] yang maknanya senyawa kristal NaCL yang merupakan klorida dan sodium, dapat larut dalam air, dan asin rasanya (Debdikbud, 1995). Demikian halnya dengan semua kata pasti mempunyai struktur dan makna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap kata mempunyai korespondensi dengan struktur maupun makna kata.

-Teori Kebenaran Pragmatis dalam Bahasa Indonesia

Pencetus teori kebenaran pragmatis dalam bahasa adalah Charles S. Peirce (1839-1914). Pada intinya teori beranggapan bahwa kebenaran atau pernyataan dapat diukur dengan kriteria tertentu. Berdasarkan fungsinya teori pragmatis bersifat relatif, artinya teori itu dianggap benar bila belum ditemukan teori baru. Dalam teori ini pengumpulan fakta yang mendukung teori tertentu diproses dengan pembuktian secara empiris. Teori ini menyatakan bahwa sesuatu dianggap sebagai hal yang benar jika berfungsi secara praktis terhadap manusia dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: jika dalam pembelajaran bahasa terdapat teori A kemudian dikembangkan dengan teknik B sebagai peningkatan aplikasi teori kebahasaan A itu maka teori A dianggap sebagai kebenaran karena berguna dalam aplikasi kehidupan berbahasa.Secara umum teori pragmatis ini sering diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Misalnya, guru mendapatkan kesulitan ketika siswa mengalami masalah dalam pengungkapan gagasan dalam belajar menulis. Setelah beberapa metode digunakan ternyata tidak mampu meningkatkan kemampuan menulis dengan baik. Ketika mencermati banyaknya cerita sinetron yang saat ini digemari oleh siswa, maka guru yang bersangkutan menceritakan sebagian cerita sinetron yang sangat digemari siswa untuk kemudian siswa meneruskan cerita yang dipenggal oleh guru. Hasilnya ternyata siswa dapat mengungkapkan gagasannya melalui menulis lanjutan cerita dengan kemampuan bahasanya sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi acuan sempurna yang kini dikembangkan dalam metode pembelajaran contextual teaching and learning (CTL). Karena metode pembelajarserta teori selalu berkembang, tidak mustahil bila teori ini kemudian akan ditinggalkan oleh guru apabila di kemudian hari muncul teori baru yang lebih efektif dalam pembelajaran menulis.



http://mizaneducation.blogspot.com/

NAMA            : USMAN ANSORI

KELAS           ; IV ( E )

NPM               : 076212232

 

 


EmoticonEmoticon